Skip to main content

Aurora di Batas Senja

Riuh suara teriakan para suporter masing-masing jurusan meramaikan suasana di lapangan Pancasila kali itu. Stadion atletik yang berada di dekat Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada itu sangat ramai dengan mahasiswa Fakultas Teknik yang sedang melaksanakan pertandingan Teknisiade, sebuah kompetisi tahunan antar jurusan yang ada di Fakultas Teknik UGM. Dari kursi tertinggi aku melihat orang itu bersiap-siap untuk lompat jauhnya. Di tengah riuh suara suporter, aku berdoa semoga orang itu menang dan dapat mengangkat nama jurusan di kancah olahraga dalam lingkup Fakultas Teknik. Pertandingan semakin seru, lompatan demi lompatan dilakukan para atlet masing-masing jurusan. Orang itu memang pelompat amatiran, namun hasil yang dia berikan tidak cukup buruk, perak untuk lompat jauh ini. Dari bidang lain jurusan kami mendapatkan emas ( lari 100 meter ), perak ( tolak peluru ), dan perak ( 400 meter ). Tidak cukup buruk untuk tahun ini, usaha dan kelelahan para atlet jurusan adalah kebanggaan yang paling utama. Akupun secara khusus memberikan ucapan selamat kepada orang itu, serambi digoda oleh teman-temanku, karena ada romansa diantara percakapan kami. Ah, itu bukanlah hal yang penting, ada hal lain yang lebih penting untuk diceritakan, sebuah cerita dimasa lalu dan dimasa yang akan datang.
***
Setiap orang memiliki ceritanya masing-masing, setiap orang juga memiliki cara masing-masing untuk menghadapi setiap peristiwa. Bagaikan tinta warna-warni, setiap orang memiliki cara masing-masing menggoreskan tinta warna dalam selembar kertas putih. Azzam kecil pun memiliki cara sendiri untuk bisa menghadapi situasi sulit yang menghimpitnya. Setelah yatim sejak berumur 1 tahun, Azzam kecil sangat menginginkan seorang ayah untuk mendampinginya. Satu tahun lalu ibunya berkenalan dengan seorang pria Jawa yang nampak kaya dan baik. Orang itu mengaku sebagai seorang kontraktor yang bekerja berpindah-pindah, dan saat ini sedang ada proyek di Bandar Lampung. Setelah perkenalan di sebuah warung makan, berulang kali pria itu bertandang di rumah Azzam. Nampaknya benih-benih cinta mulai tumbuh dalam hati Janda berusia 30 tahun tersebut.  Akhirnya mereka berdua pun menikah.
Hari-hari awal pernikahan begitu harmonis, romantis, dan indah. Kini harapan manis Azzam akan kasih sayang seorang ayah mulai mekar kembali. Dua bulan telah berlalu semenjak pernikahan tersebut, ayah dan ibu Azzam nampak selalu mesra. Meskipun ayah baru Azzam hanya pulang diakhir pekan, mereka selalu berjalan-jalan menghabiskan akhir pekannya bersama-sama. Hingga suatu hari pada usia pernikahan 2 bulan 10 hari, 3 orang polisi menggerebek rumah Azzam dan menangkap ayah baru Azzam atas tindak pidana penipuan. Ternyata selama ini ayah baru Azzam seringkali menjadi pemborong yang menggelapkan uang kliennya. Ayah baru Azzam Pun di penjara, dan ibu Azzam segera mengajukan gugatan cerai. Kesedihan mereka tidak hanya berhenti disitu, keesokan harinya seorang mantan klien suaminya datang ke rumah Azzam bersama preman-preman. Mereka menuntut ibu Azzam mengembalikan uang yang telah diselundupkan suaminya karena di klaim uang tersebut telah digunakan bersama ibu Azzam. Wanita malang itu pun diancam akan dilaporkan ke polisi jika tidak mengembalikan uang senilai 40 juta rupiah kepadanya. Tiada daya yang dapat dilakukan ibu dan nenek Azzam menghadapi para preman dan ancaman tersebut kecuali hanya meminta tenggang waktu dan berjanji akan segera mengembalikan uang tersebut.
Sudah jatuh tertimpa tangga pula, hanya itu ungkapan yang ada di hati Ibunda Azzam. Kini keluarga kecil itu harus menjual 1 hektar sawah mereka untuk melunasi uang yang diselundupkan suami barunya tersebut. Uang penjualan sawah segera diberikan kepada orang yang datang kemarin dengan bersama beberapa preman. Mata sayu nenek Azzam yang sudah mulai renta mengukirkan kesabaran dan kasih sayang kepada putri bungsunya tersebut. Entah cobaan Tuhan apa yang tengah dialami putrinya tersebut. Semenjak ditinggal mati almarhum ayah kandung Azzam, kehidupannya begitu sulit. Kini kala cinta mulai menghiasi hidupnya, yang dinikahi putrinya ternyata seorang kriminal yang memalukan. Sejak saat suami barunya dipenjara, Ibu Azzam segera mengurus perceraian dan putus hubungan dengan mantan suaminya.
Kejadian tersebut cukup membuat Ibu Azzam frustasi. Wanita itu kemudian memutuskan untuk pergi menjadi TKI di Taiwan demi mengumpulkan tabungan bagi masa depan anak semata wayangnya. Mengingat kini sawah yang mereka miliki hanya tinggal sepetak kecil karena telah dijual untuk membayar mantan klayen mantan suaminya dulu. Azzam kecil kini bukan hanya kehilangan ayahandanya, namun juga harus berpisah dengan Ibundanya dalam waktu bertahun-tahun. Tangisannya meledak ketika melepas kepergian ibunya, kedua insan tersebut berbicara dalam tangis pada hari itu. Hanya doa dalam hati sang Ibu agar permata hatinya mendapatkan ganti dimasa depan atas segala masa-masa sulit yang dialaminya sejak kecil.
“ Nak, Ibu berpesan belajarlah yang rajin. Kelak kalau Ibu sudah pulang, Azzam harus lebih pintar dan lebih membanggakan ya”, itulah pesan yang diucapkan sang Ibu sambil mengelus kepala Azzam yang begitu erat memeluk tubuh Ibunya.
Azzam mengangguk kecil, kini dia mulai mengusap air matanya dan berjanji untuk belajar rajin dan ketika ibunya kembali 3 tahun lagi, dia akan menjadi anak yang baik dan pandai. Itu adalah janji si Azzam kecil 14 tahun yang lalu.
***
Aku melambai-lambaikan tangan kepadanya yang tengah berlari menuju ke arah kami. Hemm, di semester akhir ini, mungkin ini adalah pertandingan terakhir yang dapat dipersembahkan untuk jurusan di perlombaan Teknisiade. Satu bulan lagi rencananya seminar pra pendadaran nya akan digelar, sedangkan tiga minggu lagi adalah seminar pra pendadaran. Nafas terengah-engah Azzam sangat lucu, wajah kecoklatan itu kini tengah memerah karena kelelahan dan kepanasan. Aku julurkan sekotak tisu dan botol mineral untuknya, dengan senyum khas cengengesannya dia langsung meneguk air itu hingga hampir habis.
***
Telah hampir genap tiga tahun Ibunda tercinta merantau di negeri orang. Dua minggu lagi satu-satunya orangtua yang ia miliki akan segera pulang kerumah di Bandar Lampung. Azzam kecil terus menghitung hari kedatangan Ibunya kembali ke rumah. Rasa rindu tidak dapat terbendung lagi. Selama tiga tahun ini tidak ada orang yang menegur dengan lembut ketika dia bandel, orang yang mencium lembut dahi Azzam sebelum tidur, hanya neneknya yang selalu menemaninya. Bagaimanapun juga kasih seorang nenek, Ibu tetaplah Ibu yang tidak dapat tergantikan. Hanya kebahagiaan yang ia rasakan mendapati Ibundanya pulang kembali ke Bandar Lampung. Azzam begitu bahagia, dipeluk dan diciumnya Ibunya setiap ada kesempatan. Euforia kepulangan itupun dirasakan nenek Azzam, berhari-hari masakan istimewa dihidangkan untuk merayakan kepulangan ibunya.
Karena belum memiliki pekerjaan pengganti dan masih menunggu jawaban beberapa lamaran kerja, Ibu Azzam mencari hiburan dengan bertemu teman-teman lama. Bersama Azzam dia mengunjungi sahabat lamanya yang ada di Kampung Way Jepara, namanya Tante Sari. Tante Sari adalah teman SMA Ibu Azzam yang sekarang menjadi seorang penjual kue yang cukup berhasil. Disana Ibu juga dikenalkan dengan adik Bu Sari yang bernama Johan. Paman Johan berwajah tampan dan gagah, sikapnya juga begitu ramah kala itu. Ada sesuatu yang tidak Azzam mengerti pada kunjungan kali itu, dilihatnya Ibunya begitu akrab berbincang dengan Paman Johan, membicarakan begitu banyak hal, bahkan ayam tetangga yang memakan tanaman cabe di depan rumahpun sempat untuk dibicarakan. Hingga hari begitu sore dan Azzam mulai lelah, Ibundanya begitu berseri-seri.
***
Waktu silih berganti bagi laki-laki itu. Kini tubuhnya begitu gagah dan murah senyum. Persiapan pernikahan pun semakin kencang dan terus dimaksimalkan. Satu bulan lagi Azzam akan menggelar pernikahannya, tentu saja yang bisa aku lakukan sebagai orang terdekatnya adalah membantu jalannya pernikahan dengan segenap jiwa dan raga. Pernikahan akan dilakukan di Balai Shinta dekat Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Sewa gedung dan konsep acara sudah begitu matang, antara kedua keluarga juga sudah matang mempersiapkan pernikahan. Tiga minggu lagi lamaran ke tempat calon mempelai putri segera ditunaikan dan disusul pernikahan satu minggu kemudian.
***
Begitu rumit kisah percintaan orang dewasa, kenapa kala itu Azzam begitu tidak mengerti akan cinta ? Meskipun telah menjanda dua kali, Ibu Azzam kini hendak menikah lagi. Siapa sangka Ibunda tercintanya akan menikah dengan Paman Johan adik Bu Sari yang tampan dan gagah itu. Kali ini Azzam begitu berharap Ibunya akan bahagia dan tidak lagi bersedih hati, toh selama ini Paman Johan begitu ramah dan baik kepada keluarga Azzam. Meskipun begitu, nenek Azzam terlihat sedikit tidak menyukai laki-laki bernama Johan itu. Sejak pertama kali dikenalkan ke rumah, nenek Azzam seperti melihat aura kurang baik yang ada dalam diri Paman Johan. Neneknya sempat tidak menyetujui keinginan anak bungsunya untuk menikah dengan pria bernama Johan. Meskipun firasat buruknya menggelayuti, dia begitu tidak tega melihat anak bungsunya harus patah hati dan bersedih kembali. Akhirnya restu dilayangkan, dan terjadilah pernikahan ketiga Ibundanya.
Benar kata orang-orang, seorang Ibu memiliki ikatan batin dan firasat yang begitu kuat mengenai anak-anaknya. Tidak lama selang setelah pernikahan, ayah baru Azzam yang bernama Johan itu baru terlihat sifat yang sebenarnya. Selama ini yang dikenal seperti hanya topeng saja, kini selalu tercium bau alkohol jika ayahnya pulang kerumah. Kata-kata kasar juga sering keluar dari mulut orang itu. Yang lebih mengerikan adalah kenyataan bahwa selama ini Johan hanya bersembunyi dibalik kekayaan kakaknya, dan dia bahkan tidak bisa mencari uang sendiri. Tangis kembali merengkuh Ibunda Azzam. Mengapa cinta yang ia damba tidak pernah datang, dan mengapa cobaan silih berganti datang dalam hidupnya ketika dia dengan tulus mencintai dan ingin mencari ayah yang baik untuk Azzam. Sang nenek pun tidak tinggal diam mengetahui hal tersebut, dimintanya si putri menceraikan saja laki-laki bernama Johan itu. Nenek Azzam seperti tidak sanggup melihat penderitaan putrinya. Begitu pula Azzam yang mulai besar itu, dia begitu bimbang terombang-ambing tidak tahu harus berbuat apa untuk ibundanya. Impiannya memiliki ayah yang baik putuslah sudah, pupus pula impiannya melihat Ibundanya senantiasa tersenyum bahagia.
Pikiran untuk bercerai sempat singgah di kepala Ibunda Azzam, namun semuanya berubah ketika tiba-tiba perutnya terasa begitu mual. Kepalanya pening dan rasanya begitu lemah. Ada sesuatu yang tidak beres dengan dirinya, segera dia pergi ke dokter memeriksa keadaannya. Sesuatu yang di luar dugaan, kini semua begitu jelas, rencana Tuhan untuk membuatnya kuat, kini Azzam tidak akan sendiri, karena ada calon adik yang berada di dalam perutnya. Wanita paruh baya tersebut tidak mampu menceraikan suami barunya, bagaimana dengan jabang bayi yang tengah dikandungnya ? Dalam heningnya malam, dia bersimpuh memanjatkan doa kepada Tuhan, “ Berikanlah kekuatan kepada hamba ya Allah, berikanlah hamba kesabaran dan kecintaan kepadaMu. Jika semua ini adalah jalan bagi hamba, kuatkanlah hamba menempuhnya. Jika Johan memang Imam yang tepat bagi keluarga ini, maka bukakanlah pintu hatinya untuk menjadi ayah yang baik bagi anak-anakku”. Kini yang dapat ia lakukan hanyalah, menyerahkan semuanya kepada Tuhan.
***
Hari-hari menjelang pernikahan semakin mendebarkan. Akan tetapi nampaknya calon pengantin pria masih begitu sibuk dengan penelitian dan revisi skripsi. Seminar pra pendadarannya akan digelar seminggu lagi. Ditambah acara pernikahan yang begitu mendadak. Percepatan pernikahan itu bukan tanpa alasan, setelah di wisuda Azzam harus segera meninggalkan Indonesia untuk menempuh pendidikan lanjutan di Jepang. Sebelum lulus ia telah diterima sebuah beasiswa master dari pemerintah Jepang di Tokyo University. Jika pernikahan tidak segera digelar, akan sulit mengajak sang istri turut serta ke Negeri Sakura tersebut,dan Azzam tidak ingin hal itu terjadi. Sehingga semua persiapan begitu cepat, lamaran yang begitu mendadak, konsep acara yang serba dadakan. Ditambah kesibukannya mengelola usaha souvenir yang ia bangun sejak semester empat. Bermodalkan proposal Pekan Kreativitas Mahasiswa, kini usahanya berkembang cukup baik dan semakin besar. Diapun mulai membangun bisnis memelihara ikan, sejak semester empat Azzam telah bisa mencari uang sendiri, hal itu sangat membanggakan bagi keluarganya. Tentu motivasinya bekerja sangat keras adalah demi Ibu, nenek, dan adik perempuannya.
***
Waktu semakin cepat berlalu, mungkin inilah tanda-tanda akhir Zaman. Namun Tuhan memang tidak pernah tidur. Doa sang Ibu terkabul juga, setelah anak perempuan yang lucu lahir, ayah Azzam mulai berubah. Perangainya tidaklah sekeras dulu, diapun tidak lagi mabuk-mabukan. Kini dia mulai suka menimang bayi mungilnya itu, dan mulai berubah menjadi ayah yang baik. Telah beberapa waktu lalu dia mulai menggarap sawah dan mulai bekerja setelah sekian lama Ibu Azzam yang harus menjahit baju untuk mencari nafkah. Karena bayinya telah lahir, Ibu Azzam tidak lagi dapat menjahit cukup baju untuk hidup. Syukurlah ayah Azzam telah berubah dan mulai bekerja demi anak perempuan mereka. Namun Azzam merasakan ada sesuatu yang hilang, sejak kelahiran adiknya, kasih sayang Ibu dan Ayah tentunya tercurah pada adik barunya. Dia merasa dirinya ditinggalkan. Rasa iri sempat mengusiknya, namun dia tersadar. Jika adiknya bisa membuat ayahnya berubah, seharusnya ia senang. Toh selama ini dia selalu mengidamkan seorang adik. Wajar saja ayah dan ibunya begitu memperhatikan adik bayinya, bayi itu adalah anak pertama bagi ayah dan ibu Azzam untuk pernikahan ini, anak kandung ayah Azzam yang tentu dinanti-nantikan. Azzam pun tersenyum sendiri, dalam hati dia berkata “ Aku pun akan menyayangimu, dik’.
***
Sore itu aku berjalan-jalan mencari udara segar disekitar rumah. Karena lelah aku beristirahat di tepi sebuah ladang ilalang. Aku memandang senja yang begitu indah dengan angin sepoi-sepoi dari ujung lapangan yang ditumbuhi ilalang lebat tersebut. Bukankah senja sangat indah ? Seolah hari hendak beristirahat sejenak untuk menarik nafas panjang akan usianya yang begitu tua. Bukankah aku juga selalu menua? Bahkan kita semua menua. Rasanya baru kemarin masuk kuliah, kini aku sudah mau lulus. Rasanya baru kemarin aku mengenal Azzam, besok pagi dia sudah mau menikah. Sebenarnya dalam cerita ini terdapat sebuah rahasia. Bahwa tersimpan rasa yang begitu mendalam kepada tokoh lelaki dalam cerita ini. Sejak masuk kuliah empat tahun lalu, sejak pertama kali menjabat tangannya, sejak pertama melihatnya tertawa, dan sejak pertama kali berbincang dengannya. Rasanya bagai ada gaya gravitasi yang begitu kuat dia pancarkan kepadaku, gaya gravitasi yang harus aku tahan dengan begitu susah payah. Energiku seperti hampir habis setiap hari selama empat tahun ini untuk melawan gaya gravitasi itu. Habis pula energiku untuk menangis ketika seorang wanita di kelasku terlihat mendekatinya. Mereka begitu akrab setiap harinya, mengerjakan berbagai lomba bersama, dan sebagai seorang wanita aku bisa melihat dengan jelas tatapan mata wanita itu yang begitu hangat kepada Azzam. Hanya tangis dalam hati yang aku rasakan ketika wanita yang juga sahabat baikku itu bilang bahwa ia menyukai Azzam. Apa yang bisa aku lakukan kecuali berdoa agar Azzam diberikan yang terbaik? Begitu pula aku dan sahabatku.
Sejak hari itu, aku mulai merubah arah berpikir. Aku mulai mempersiapkan bagaimana menjadi istri yang baik dan Ibu yang baik untuk anak-anakku. Aku mulai membaca berbagai buku tentang keluarga, gencar menghafal Quran untuk mempersiapkan pengetahuan dalam mendidik anak dan menjadi kemudi yang baik bagi perahu suamiku kelak. Bukankah memang fitrah wanita untuk melahirkan generasi penerus yang baik bagi bangsa dan agama? Itulah sebabnya aku tidak terlalu berat dalam memikirkan karir, bagiku ada tujuan yang jauh lebih utama daripada mengejar karir dan kepuasan intelektual. Belajar karena memang aku ingin memuaskan keingintahuan, bukan mencari nilai apalagi pekerjaan. Hal tersebut tidak berarti akademik tidak penting, belajar adalah kenikmatan tak ternilai. Sejak hari itu aku berusaha menjadi orang yang siap untuk menikah dan menjemput jodohku dengan berbagai persiapan. ‘Aku siap menikah’ bukan siap ‘menikah dengan Azzam’, sehingga siapapun jodohku kelak, aku akan menyambutnya dengan baik.
Sebuah ayat yang selalu kupegang dalam hati, Fabi ayyi ala i rabbikuma tukaththibani. Ayat yang diulang 27 kali dalam surat Ar Rahman , surat Al Quran kesukaanku karena begitu indah dan menguatkan. “ Maka nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan? ”, begitu nikmat dan indahnya rencana Tuhan. Tentu semua orang mendapatkan ganjaran sesuai usahanya. Kini Ibunda Azzam seorang wanita yang begitu kuat itu memperoleh kebahagiaan rumah tangga atas berubahnya suaminya, anak-anaknya pun telah dewasa. Dan Azzam anak tertuanya, kini menjadi seorang yang begitu berprestasi dan hendak pergi ke Jepang meraih gelar master. Esok pagi anak lelakinya akan menikah dengan gadis pilihan yang kabarnya telah dia cintai semenjak semester satu di Teknik Fisika. Nenek Azzam tengah menjalani masa tuanya dengan tentram karena putri bungsunya tidak lagi menangis. Azzam mulai melatih orang kepercayaannya membantu mengurus bisnis di Jogja, semua sudah dipersiapkan untuk keberangkatannya bersama istrinya ke Jepang dan pernikahan akan digelar esok hari. Lalu, bagaimana denganku ? Aha, jangan salah, aku bukanlah figuran dalam cerita ini. Sejatinya akulah tokoh utama dalam cerita ini, karena akulah yang memenangkan tokoh lelaki yang begitu perkasa itu.
Pagi itu, Balai Shinta begitu ramai mahasiswa UGM dan keluarga kedua mempelai. Mempelai pria begitu gagah dengan postur tinggi dalam setelan tuxedo hitam. Setelah ijab Qabul dilaksanakan beberapa waktu lalu, mempelai wanita yang sedari tadi berada di dalam ruangan memasuki wilayah area pernikahan didampingi adik perempuan Azzam dan orangtua kedua mempelai. Mempelai wanita terlihat begitu gugup, di depan, Azzam ditemani sahabat baiknya Rico sudah menunggu dan menjemputnya bersanding di kursi khusus untuk pengantin. Dengan wajah malu mempelai wanita hanya bisa tersenyum ketika Azzam menggenggam tangannya dan dikecupnya pipinya di depan para tamu. Sepanjang acara kedua mempelai senantiasa bergandeng tangan. Bukankah sudah pasti, bahagia akan tiba pada saat yang tepat?
***
“Hay, calon istri, hehe..”, suara itu mengagetkanku yang sedang termenung memandang senja serambi merasakan udara sepoi membelai wajahku.
“ Apa yang kamu lakukan disini? Bukankah kita sedang dipingit ?”, kataku sekenanya.
“ Ah, aku tidak bisa lama jauh darimu sayang”, katanya begitu genit. Aku tidak mengerti kenapa dia menjadi begitu genit seperti itu.
“ Haha, sekarang pintar gombal ya…”, ku cubit pipinya yang mulai menggemuk itu.
“ Hay, bukankah ilalang-ilalang itu seperti kamu Aurora? ”, raut mukanya mengguratkan senyum memandangku.
“ Maksudnya?”, aku memasang muka bingung.
“ Begitu kuat penuh prinsip. Meskipun angin begitu kencang menerpa, dia tetap kuat. Meskipun dipatahkan, dia akan tumbuh kembali. Mempertahankan harga dirinya. Meskipun orang tidak memandangnya sebagai tanaman yang berharga, sejatinya dia melambangkan sebuah ketegaran”, tangannya menggenggam tanganku. Romantisme ini mengingatkanku ketika aku menangis karena begitu cemburu tiga tahun lalu. Betapa sakitnya cemburu karena cinta, cinta dalam diam yang tanpa kepastian. Bukankah semua ini ganjaran untuk kesabaranku? Akupun membalas senyumnya.
“ Kamu salah sayang, ilalang itu lebih seperti kamu”, jawabku, dari ujung sana senja begitu indah dan angin sepoi menerpa wajah kami. Langit jingga itu, akan aku jadikan potret saksi, senja sebelum hari pernikahan kami.

Dita Anggraini
Agustus 2015

Comments

Popular posts from this blog

Pengalaman Mengikuti Short Course Australia Awards "Renewable Energy Technology & Policies"

Tim Australia Awards Short Course Renewable Energy Technology & Policies 2018 Australia Awards Indonesia yang merupakan program beasiswa dari Pemerintah Australia untuk masyarakat Indonesia bukan hanya memiliki Long Term Awards program untuk pendidikan master, namun juga memiliki program Short Term Awards untuk mengikuti pelatihan singkat dengan topik-topik tertentu. Pada tahun 2018, saya memiliki kesempatan untuk mengikuti program Short Course dalam bidang energi terbarukan bersama 20 peserta terpilih lain dari seluruh Indonesia (terutama dari Indonesia Timur). Program Short Course ini terdiri dari 3 fase dengan total durasi 8 bulan, yaitu : Precourse di Indonesia (kurang lebih 3 hari) Kunjungan ke Pembangkit Listrik Tenaga Bayu Jeneponto Precourse untuk mempersiapkan keberangkatan ke Australia, disana kita mendapatkan informasi mengenai jadwal acara, universitas dan institusi tempat kita akan belajar, akomodasi, kultur budaya di Australia, dan yang paling p...

Persiapan Keberangkatan (PK) LPDP "5 HARI MENGUBAH POLA PIKIR KU"

Foto bersama PK-152 Abhinaya Estungkara Pada Agustus 2019, alhamdulillah aku mendapatkan pengumuman bahwa aku dinyatakan lulus Beasiswa LPDP untuk meneruskan master ke luar negeri. Salah satu dari rangkaian proses bagi penerima beasiswa adalah "Persiapan Keberangkatan" atau yang sering disebut PK. Persiapan untuk PK sendiri sudah dimulai beberapa minggu sebelum PK dilaksanakan. Sejak bulan September kami sudah tergabung dalam grup Whatsapp dan milis email untuk PK-152 (ini angkatan PK saya, hehe), nama angkatan PK kami adalah Abhinaya Estungkara. Kami sudah mendapatkan banyak tugas sebelum PK, pada dasarnya kegiatan PK ini "Dari Kita dan Untuk Kita", jadi semua hiburan, logistik, dan berbagai acara diisi oleh kita sendiri. Tugas-tugas PK pun beragam, seperti membuat lagu angkatan, membuat logo angkatan, membuat maskot angkatan. menghafal Visi-Misi dan Mars LPDP, membuat susunan acara, membuat koreografi angkatan, membuat kaos angkatan, merancang kegiatan bakti s...

Renewable Energy System at Green School Bali - Helping to Develop the System

It has been 3 years for me working at Green School Bali , as well as explore my curiosity about renewable energy. It is really interesting to be involved in this school, an educational institution that teaches about sustainability and prepares the students to be green leaders. I had an opportunity to be interviewed by Tech for Impact, if you want to read their publication, please read their article HERE . I will say that developing solar and hydro energy in Indonesia is not an easy job, especially since the price of electricity from the public grid is really cheap here. But there are many other values that people must believe in fighting for renewable energy, such as : 1. Think about the environment, renewable energy is clean and low emission. 2. Think about how much is the Indonesian natural resources for renewable energy, if we do not start to develop the system now, other countries will own them in the future, sad! 3. Think about showcasing the future to th...